Wednesday, March 5, 2008

Keakraban ‘Diskrimasi’

‘Diskriminasi’, sebuah kata yang maknanya sangat tidak disukai oleh khalayak ramai. Meski demikian kata ‘Diskriminasi’ sangat akrab di telinga kita, meski kita begitu suka diparaktikan terhadap diri kita.

Kata ‘Diskriminasi’ menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)

Berdasar maknanya, ‘Diskriminasi’ menjadikannya sebuah kata yang tidak disukai oleh banyak orang di dunia ini. Namun, tanpa menyadarinya, kita telah mengakrabi diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari

Entah dalam kesadaran ataupun tidak, kita terbawa dalam praktik diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan nilai-nilai diskriminasi pun telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sejak menginjak masa kanak-kanak, dalam klehidupan sehari-hari, kita telah diperkenalkan dan diajari praktik diskriminasi. Berbalut sebuah norma, Diskriminasi dilakukan sebagai sebuah penghormatan kepada orang lain yang lebih tua, berpengaruh atau bahkan berkuasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang tua kita mengajarkan untuk selalu menghormati tamu. Demi menghormati tamu, tuan rumah dengan senang hati melakukan tindakan diskriminatif. Contohnya, tuan rumah dengan penuh kerelaan menghidangkan sajian teristimewa bagi tamunya. Meski, terkadang anaknya sendiri belum pernah merasakan sajian itu. Bahkan ketika sang anak harus menangis, merengek meminta sajian yang dihidangkan untuk sang tamu, tuan rumah tetap akan memilih untuk menyajikannya untuk sang tamu, sebelum dilahap sang anak. Terkadang, tuan rumah lebih memilih untuk memarahi sang anak daripada merelakan sajian istimewa itu dinikmati anaknya, sebelum dihidangkan kepada tamu.

Meski dinilai positif, suatu realita penghormatan terhadap tamu itu telah mencerminkan sebuah tindakan diskriminasi. Penghormatan terhadap tamu itu telah menjadi norma, menjadi kesepakatan bersama, bahwa tindakan ‘diskriminasi’ dalam menjamu tamu sebagai sebuah prilaku yang layak dilakukan.

Namun, akan lain halnya apabila, tindakan diskriminatif itu dilakukan berdasar ras, suku, agama, golongan, ataupun strata sosial seseorang. Tindakan diskriminasi semacam itu telah menjadi kesepakatan bersama, bahwa tindakan diskriminasi dalam konteks tersebut, adalah tindakan biadab, layak dikecam, dan harus dihindari.

Kedua implementasi diskriminasi diatas, sungguh telah menjadi realita sosial. Tidak ada seorangpun memperdebatknnya. Kedua implementasi diskriminasi dalam konteks yang bertentangan (berdasar norma itu), layaknya sebuah kepingan mata uang. Ada sebuah nilai yang menjadi dasar pembeda untuk menghakiminya. Manusia telah begitu begitu mudah membedakannya, layaknya membedakan warna hitam dan putih. Itu semua terjadi karena nilai-nilaio moralitas itu terpupuk sejak masa kanak-kanak, hingga dewasa. Sebagian pakar bahkan menempatkan kemampuan manusia dalam menerapkan korma sebagai salah satu pembeda antara manusia dengan mahluk lainnya.

Meski telah terdapat kesepakatan bersama tidak tertulis, tentang nilai-nilai moralitas itu, namun dalam kehidupan sehari-hari seringkali terjadi tindakan diskriminatif terbuka, tanpa pernah bisa dihentikan. Misalnya, menjadi sebuah anggapan kewajaran tatkala seorang siswa sekolah dasar dilarang mempergunakan kamar kecil yang khusus dipergunakan untuk para guru dan kepala sekolah, di lingkungan sekolahnya.

Alasan, bahwa siswa tidak dapat menjaga kebersihan, dan lain sebagainya, beberapa kamar kecil di sebuah sekolah dikhususkan peruntukannya hanya bagi para guru. Bahkan untuk menekankan arti kekhususan, seringkali kamar kecil itu dilengkapi dengan kunci khusus, yang hanya bisa diakses oleh kalangan guru, pegawai sekolah dan kepala sekolah.

Siswa sekolah, hanya diperkenankan mempergunakan kamar kecil yang memang khusus untuk siswa. Seringkali kamar kecil itu jorok dan kotor, karena jarang dibersihkan. Untuk membersihkannya, siswa harus bekerja bakti bersama-sama. Sementara, kamar kecil untuk kalangan guru dan pejabat sekolah, terkesan sangat bersih dan wangi, jauh dari kesan jorok. Pasalnya, lembaga sekolah telah mengalokasikan anggaran khusus untuk pembersihan kamar kecil itu.

Diskriminasi masalah ‘Buang Air Kecil’ semacam itu, entah sadar atau tidak telah tertanam dalam otak anak-anak. Penanaman nilai moralitas kesopanan penggunaan kamar kecil itupun terus dipupuk hingga pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Bahkan. Moralitas kesopanan penggunaan kamar kecil itu terus terbangun hingga jenjang perguruan Tinggi. Dengan alasan yang sama, bahwa mahasiswa tidak bisa menjaga kebersihan, maka pihak pengelola kampus mengkhususkan beberapa kamar kecil hanya untuk dipergunakan oleh kalangan dosen, karyawan kampus, dekan dan bahkan rektor.

Alasan yang mengatakan bahwa siswa ataupun mahasiswa tidak mampu menjaga kebersihan, seakan telah menjadi permakluman bersama, meski kebenaran lasan itu masih dapat diperdebatkan.

Tidak jarang lembaga pendidikan, harus menyediakan anggaran tersendiri untuk membiayai perawatan kamar mandi yang diperuntukkan untuk para pejabat lembaga pendidikan. Sementara di pihak lain, pengelola sekolah tidak mengalokasikan dana sedikitpun untuk perawatan kamar kecil yang diperuntukkan bagi peserta didik. Seakan kesadaran bahwa adanya berbagai anggaran untuk kepentingan guru, dosen, ataupun rektor itu muincul akibat adanya siswa atau mahasiswa di lembaga pendidikan itu.

Kebersihan kamar kecil untuk peserta didik, sepenuhnya menjadi tanggung jawab peserta didik dan bukan tanggung jawab pengelola lembaga. Bahkan, apabila diperlukan peserta didik harus bekerja bakti untuk membersihakan kamar kecil itu.

Pembedaan perlakuan hingga pengalokasian anggaran untuk sebuah hal kecil namun sangat dibutuhkan, seperti kamar kecil itu, seakan telah menjadi permakluman bersama. Segala lapisan masyarakat, seakan kehilangan pijakan warna untuk membedakan tindakan yang (mungkin) diskriminatif itu. Bahkan kalangan mahasiswa-pun tampaknya ‘rela’ dirinya menjadi obyek tindakan yang (mungkin) diskriminatif itu.

Satu lagi sebuah ironi yang berkembang di masyarakat, entah disadari ataupun tidak oleh masyarakat itu sendiri. Teringat sebuah kejadian ketika seorang siswa harus berlari pulang ke rumahnya, ketika kamar kecil siswa kotor tidak terawat, atau bahkan tidak dapat dipergunakan. Sementara kamar kecil dosen, guru atau karyawan, terkunci rapat, dan dilapisi dengan gembok. Bahkan pada sebuah lembaga pendidikan tinggi di Jember, terdapat pula kamar mandi yang dilapisi dengan besi teralis, meski telah tersedia kunci pintu. Pemasangan pintu besi pada kamar kecil itu menjadi sebuah refleksi ketakutan para pejabat kampus bahwa anggaran kebersihan kamar kecil dosen akan dinikmati oleh mahasiswanya.(*)